“Siapa ingin ke sekolah, cari
ilmu sampai dapat”
Begitulah
sepenggal lagu yang dinyanyikan anak-anak pedalaman Mentawai saat menuju
sekolah hutan di desa mereka. Pemandangan ini muncul ketika kita pertama kali
menonton film documenter yang berjudul ‘Hutanku Sekolahku’.
Filem
berdurasi enam belas menit ini merupakan filem documenter karya dunsanak kita, David Suryadi dan Roberto
Satyadi, mahasiswa jurusan televisi dan filem di Institut Seni Indonesia,
Padang Panjang. Filem documenter ini berhasil masuk kedalam kategori lima besar
dalam ajang Eagle
Award Documentary Competition 2011 yang diselenggarakan oleh Metro TV pada
28 Oktober
2011 dengan tema “Bagimu Indonesia”.
Sebuah prestasi yang
luar biasa!
Suasana belajar di Sekolah Hutan Sanggong, penuh keterbatasan |
Sekolah
Hutan Sanggong,
sekolah yang berdiri di tengah–tengah hutan pedalaman Siberut Selatan. Sebuah sekolah yang sangat tidak bisa digambarkan
seperti layaknya sebuah sekolah. Dengan segala keterbatasan, 31 orang siswa
mengejar perkembangan ilmu pengetahuan.
Sekarang, sekolah ini
sudah dirasakan dampaknya oleh masyarakat sekitar secara jelas. Masyarakat yang
dulunya tidak mengganggap sekolah itu penting dan hidup berpencar-pencar,
sekarang mulai membentuk sebuah prkampungan agar anak-anak mereka bisa mengecap
bangku sekolah walau hanya sampai kelas 3 SD. Keterbatasanlah yang menghentikan
hingga kelas tiga SD saja.
inilah yang harus ditempuh menuju sekolah, tetap tersenyum |
Bercita-cita
menjadi dokter memicu semangat anak usianya 14 tahun, Simatet. Cita-cita yang sungguh mulia dibalik semua
keterbatasan seorang siswa yang duduk di kelas tiga SD.
Tidak kalah
dengan semangat Simatet, Patin Alvenus berjalan lebih kurang satu sampai dua jam
menuju sekolah. Ia termotivasi oleh semangat anak-anak disana yang sangat ingin
belajar dan bersekolah. Salah satu kesulitan yang meraka hadapi adalah ketika
hujan lebat. Untuk sampai ke Sekolah Hutan Sanggong, mereka harus melewati
sungai dengan sampan. Sehingga apabila hujan lebat dan terjadi banjir, maka
mereka akan kesulitan dalam menyeberangi sungai.
Menurut Tarida,
seorang anak laki-laki di daerah tersebut yang usianya sudah lebih dari 14
tahun sudah menjadi tulang punggung keluarga. Mereka juga harus mencari
kebutuhan sendiri, seperti rotan sehingga tiga hari bahkan sampai satu minggu
mereka harus berada di hutan. Hal ini menyebabkan tarida tidak bisa membuat
jadwal yang berkala. Jadwal sekolah siswa di hutan sanggong menyesuaikan dengan
jadwal siswanya. Dengan kata lain, anak-anak sagat fleksibel masuk sekolah.
berpose bersama tokoh adat Mentawai |
Begitulah ucapan salah
satu tokoh adat Mentawai, Pius Sadohutu. Sebelum mengenal sekolah, anak-anak
mentawai malu ketika mereka sewaktu-waktu keluar dari kampungnya. Salah satu
keinginan Tarida, agar anak-anak Mentawai pedalaman ini tidak dibodohi oleh
orang-orang di luar sana.
“Tempat tinggal kita
termasuk Indonesia. Meskipun berbeda kita tidak boleh saling mengejek”.
Sebuah adegan di dalam
filem tersebut, saat seorang siswa membaca sebaris kalimat diatas. Seuntai
kalimat yang seolah ingin mewakili keinginan mereka bahawasanya mereka juga
bagian dari Indonesia yang ingin mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak
lainnya di Indonesia terutama masalah pendidikan.
Banyak cerita menarik
dibalik proses pembuatan filem ini. Saat mengetahui tema untuk Eagle Award 2012,
David dan Rober merasa Mentawai adalah daerah yang pas untuk dijadikan objek. “Karena Mentawai cocok dengan informasi
yang saya dapat untuk tema Eagle Award 2011, sehingga saya harus ke Mentawai untuk riset
dan ternyata keadaanya lebih menyedihkan dari info yang saya dapat”, ujar David.
Filem dokumenter dan media,
terutama media nasional, sebagai
upaya untuk memperjuangakan kaum-kaum yang termaginalkan. Filem dokumenter dapat
mengakat isu-isu yang tidak di
perhatikan pemerintah. Begitulah alasan yang diungkapkan David ketika ditanya mengenai
alasannya membuat file ini. Selain itu, juga sebagai ajang
kreativitas sebagai
mahasiswa filem serta untuk mencari ilmu dan pengalaman. Pembuatan filem ini memerlukan waktu yang
cukup panjang, dari
pembuatan script sampai premier memerlukan waktu sekitar tiga bulan.
Bagi David, saat
paling berkesan ketika ia dan temannya harus menjual barang-barang yang mereka
punya untuk mencukupi biaya berangkat ke Mentawai. “Yang paling
berkesan buat saya adalah ketika uang
saya dan teman–teman tidak mencukupi untuk berangkat ke Mentawai ,kami harus
menjual barang dulu ,pinjam sana –sini ,baru dapat uang akhirnya sampai di
mentawai,” ungkap David sambil tertawa.
Sungguh perjuangan
yang penuh pengorbanan!
Dalang dibalik suksesnya filem dokumenter Hutanku Sekolahku |
Dalam proses pembuatan filem ini, mereka juga dibantu oleh pembuat
dan pengajar filem profesional seperti
Abduh Aziz, Lianto Luseno, Prita Laura, Jhon Bosco serta produser Metro TV.
Saat ditanya bagaimana perasaan mereka begitu tahu filem mereka masuk lima
besar, mereka merasa senang dan bersyukur karena perjuangan dari awal sungguh
berat dan banyak pengorbanan yang mereka lakukan seperti matri, perkuliahan dan
pengorbanan lainnya. Namun, mereka tidak lah langsung puas. Masi banyak
prestasi yang ingin mereka raih.
Melalui filem ini, mereka ingin menyampaikan agar kita lebih
bersyukur dapat pendidikan yang layak. Selain itu, mereka juga ingin
mengkritisi kinerja buruk dari pemerintahan kita, hal ini agar menjadi evaluasi
untuk mereka yang lebih punya tanggung jawab dalam hal pendidikan, sehingga
tidak ada lagi pendidikan yang menyedihkan seperti anak-anak pedalaman di
Mentawai maupun daerah terpencil lainnya di Indonesia.
Bagi david, filem
ini mampu menceritakan mimpi-mimpinya kepada semua orang dan melalui filem dokumenter
ia ingin mengangkat isu-isu yang tidak disadari orang sebagai suatu hal
berarti. Dengan mengikuti acara ini, David berharap ia mampu membuat sebuah
tindakan nyata dengan membantu orang-orang yang layak untuk dibantu.
Kita sebagai generasi muda bangsa ini, sepatutnya bangga mempunyai
daerah yang kaya budaya dan keindahan pesona alam yang eksotis. Untuk itu,
beranilah bermimpi dan melakukan tindakan nyata atas mimpi-mimpi mu, apapun
medianya. Bangkitlah dan coba lihat disekelilingmu, maka kau akan tahu siapa
dirimu sebenarnya. Talk less do more.
0 komentar:
Posting Komentar