Sabtu, 26 Mei 2012

hutanku sekolahku


 “Siapa ingin ke sekolah, cari ilmu sampai dapat”
Begitulah sepenggal lagu yang dinyanyikan anak-anak pedalaman Mentawai saat menuju sekolah hutan di desa mereka. Pemandangan ini muncul ketika kita pertama kali menonton film documenter yang berjudul ‘Hutanku Sekolahku’.
Filem berdurasi enam belas menit ini merupakan filem documenter karya dunsanak kita, David Suryadi dan Roberto Satyadi, mahasiswa jurusan televisi dan filem di Institut Seni Indonesia, Padang Panjang. Filem documenter ini berhasil masuk kedalam kategori lima besar dalam ajang Eagle Award Documentary Competition 2011 yang diselenggarakan oleh Metro TV pada 28 Oktober 2011 dengan tema “Bagimu Indonesia”.
Sebuah prestasi yang luar biasa!
Suasana belajar di Sekolah Hutan Sanggong, penuh keterbatasan
Filem ini menceritakan perjuangan seorang perempuan yang mengabdi di sebuah desa di pedalaman Mentawai.  Perjuangan seorang perempuan bernama Tarida Herawati, seorang sarjana Antropolog Lulusan Universitas Sumatra  Utara (USU) tamatan 1998 yang merupakan penggagas Sekolah Hutan Sanggong. Bersama dua orang guru lainnya, Siti Komariah dan Patin Alvenus, mereka berjuang untuk mencerdaskan anak-anak Indonesia yang tak terjamah oleh pemerintah.
Sekolah Hutan Sanggong, sekolah yang berdiri di tengah–tengah hutan pedalaman  Siberut Selatan. Sebuah sekolah yang sangat tidak bisa digambarkan seperti layaknya sebuah sekolah. Dengan segala keterbatasan, 31 orang siswa mengejar perkembangan ilmu pengetahuan.
Sekarang, sekolah ini sudah dirasakan dampaknya oleh masyarakat sekitar secara jelas. Masyarakat yang dulunya tidak mengganggap sekolah itu penting dan hidup berpencar-pencar, sekarang mulai membentuk sebuah prkampungan agar anak-anak mereka bisa mengecap bangku sekolah walau hanya sampai kelas 3 SD. Keterbatasanlah yang menghentikan hingga kelas tiga SD saja. 
inilah yang harus ditempuh menuju sekolah, tetap tersenyum
Berbanding terbalik dengan kehidupan pelajar di kota, anak –anak sekolah hutan belajar tanpa bangku, tanpa seragam, tanpa sepatu dan tas plastic.  Proses belajar mengajar mengunakan bahasa Mentawai. Satu hal unik, mereka selalu membawa golok untuk berangakat ke sekolah.
Bercita-cita menjadi dokter memicu semangat anak usianya 14 tahun, Simatet.  Cita-cita yang sungguh mulia dibalik semua keterbatasan seorang siswa yang duduk di kelas tiga SD.
Tidak kalah dengan semangat Simatet, Patin Alvenus berjalan lebih kurang satu sampai dua jam menuju sekolah. Ia termotivasi oleh semangat anak-anak disana yang sangat ingin belajar dan bersekolah. Salah satu kesulitan yang meraka hadapi adalah ketika hujan lebat. Untuk sampai ke Sekolah Hutan Sanggong, mereka harus melewati sungai dengan sampan. Sehingga apabila hujan lebat dan terjadi banjir, maka mereka akan kesulitan dalam menyeberangi sungai.
Menurut Tarida, seorang anak laki-laki di daerah tersebut yang usianya sudah lebih dari 14 tahun sudah menjadi tulang punggung keluarga. Mereka juga harus mencari kebutuhan sendiri, seperti rotan sehingga tiga hari bahkan sampai satu minggu mereka harus berada di hutan. Hal ini menyebabkan tarida tidak bisa membuat jadwal yang berkala. Jadwal sekolah siswa di hutan sanggong menyesuaikan dengan jadwal siswanya. Dengan kata lain, anak-anak sagat fleksibel masuk sekolah.
berpose bersama tokoh adat Mentawai
“Kalau memang ada pendidikan gratis dari pemerintah, bawa kesini, ke Mentawai! Anak-anak kami juga ingin bersekolah!”
Begitulah ucapan salah satu tokoh adat Mentawai, Pius Sadohutu. Sebelum mengenal sekolah, anak-anak mentawai malu ketika mereka sewaktu-waktu keluar dari kampungnya. Salah satu keinginan Tarida, agar anak-anak Mentawai pedalaman ini tidak dibodohi oleh orang-orang di luar sana.
“Tempat tinggal kita termasuk Indonesia. Meskipun berbeda kita tidak boleh saling mengejek”.
Sebuah adegan di dalam filem tersebut, saat seorang siswa membaca sebaris kalimat diatas. Seuntai kalimat yang seolah ingin mewakili keinginan mereka bahawasanya mereka juga bagian dari Indonesia yang ingin mendapatkan hak yang sama seperti anak-anak lainnya di Indonesia terutama masalah pendidikan.
Banyak cerita menarik dibalik proses pembuatan filem ini. Saat mengetahui tema untuk Eagle Award 2012, David dan Rober merasa Mentawai adalah daerah yang pas untuk dijadikan objek. Karena Mentawai cocok dengan informasi yang saya dapat untuk tema Eagle Award 2011, sehingga saya harus ke Mentawai untuk riset dan ternyata keadaanya lebih menyedihkan dari info yang saya dapat”, ujar David.
Filem dokumenter dan media, terutama media nasional, sebagai upaya untuk memperjuangakan  kaum-kaum  yang termaginalkan. Filem dokumenter dapat mengakat isu-isu  yang tidak di perhatikan pemerintah. Begitulah alasan yang diungkapkan David ketika ditanya mengenai alasannya membuat file ini. Selain itu, juga sebagai ajang kreativitas sebagai mahasiswa filem serta untuk mencari ilmu dan pengalaman. Pembuatan filem ini memerlukan waktu yang cukup panjang,  dari pembuatan script sampai premier memerlukan waktu sekitar tiga bulan.
Bagi David, saat paling berkesan ketika ia dan temannya harus menjual barang-barang yang mereka punya untuk mencukupi biaya berangkat ke Mentawai.  “Yang paling berkesan buat saya adalah ketika  uang saya dan teman–teman tidak mencukupi untuk berangkat ke Mentawai ,kami harus menjual barang dulu ,pinjam sana –sini ,baru dapat uang akhirnya sampai di mentawai,” ungkap David sambil tertawa.
Sungguh perjuangan yang penuh pengorbanan!
Dalang dibalik suksesnya filem dokumenter Hutanku Sekolahku
Banyak hal yang sangat menarik dari Mentawai. Mentawai sangat dikenal kebudayaan dan alamnya yang eksotis di dunia. Mentawai itu sangat eksotik, penduduknya ramah, dan orang yang menyukai kebuyaan pasti puas berada di mentawai karena mereka masih awan dan natural sekali.Salah satu hal yang belum disadari oleh kita bangsa Indonesia. Tak banyak kesulitan yang mereka hadapi di lapangan. Hanya kendala bahasa saja yang mereka anggap sedikit memberatkan.
Dalam proses pembuatan filem ini, mereka juga dibantu oleh pembuat dan pengajar  filem profesional seperti Abduh Aziz, Lianto Luseno, Prita Laura, Jhon Bosco serta produser Metro TV. Saat ditanya bagaimana perasaan mereka begitu tahu filem mereka masuk lima besar, mereka merasa senang dan bersyukur karena perjuangan dari awal sungguh berat dan banyak pengorbanan yang mereka lakukan seperti matri, perkuliahan dan pengorbanan lainnya. Namun, mereka tidak lah langsung puas. Masi banyak prestasi yang ingin mereka raih.
Melalui filem ini, mereka ingin menyampaikan agar kita lebih bersyukur dapat pendidikan yang layak. Selain itu, mereka juga ingin mengkritisi kinerja buruk dari pemerintahan kita, hal ini agar menjadi evaluasi untuk mereka yang lebih punya tanggung jawab dalam hal pendidikan, sehingga tidak ada lagi pendidikan yang menyedihkan seperti anak-anak pedalaman di Mentawai maupun daerah terpencil lainnya di Indonesia.
Bagi david, filem ini mampu menceritakan mimpi-mimpinya kepada semua orang dan melalui filem dokumenter ia ingin mengangkat isu-isu yang tidak disadari orang sebagai suatu hal berarti. Dengan mengikuti acara ini, David berharap ia mampu membuat sebuah tindakan nyata dengan membantu orang-orang yang layak untuk dibantu.
Kita sebagai generasi muda bangsa ini, sepatutnya bangga mempunyai daerah yang kaya budaya dan keindahan pesona alam yang eksotis. Untuk itu, beranilah bermimpi dan melakukan tindakan nyata atas mimpi-mimpi mu, apapun medianya. Bangkitlah dan coba lihat disekelilingmu, maka kau akan tahu siapa dirimu sebenarnya.  Talk less do more.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 welcom to ulfa's journal. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemesfree